Selasa, 03 Februari 2009

Keseimbangan yang Tak Lagi Seimbang.

Keseimbangan yang Tak Lagi Seimbang.  Beberapa tahun belakangan ini, Indonesia memang sedang diguncang berbagai bencana alam hampir di seantero negeri. Mulai dari tsunami, banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus dan masih banyak lagi. Beragam teori diajukan untuk dijadikan penyebab lahirnya bencana alam tersebut. Mulai dari penggundulan hutan, penyalahgunaan lahan, sampai global warming. Terhadap berbagai peristiwa alam yang terjadi, kita harus berpikir rasional. Semua bencana alam yang terjadi merupakan konsekuensi logis dari tindakan kita. Dan bencana itu merupakan sesuatu yang pasti terjadi kalau kita tidak memelihara alam secara baik. Selama ini kita menganggap alam, hutan, sebagai anugerah yang bisa dipergunakan semau kita.  Ketika jumlah penduduk masih terbatas, jumlah penebangan pasti masih bisa ditoleransi oleh alam. Namun ketika jumlah penduduk makin meningkat tajam dan pilihan akan kehidupan semakin terbatas, maka tingkat perusakan alam otomatis akan semakin meningkat. Inilah yang sedang kita hadapi sekarang. Penambahan jumlah penduduk nyaris tak terkendali. Negara tidak lagi mempunyai kemampuan untuk melanjutkan Gerakan Keluarga Berencana. Padahal pertumbuhan ekonomi tidak selaju penambahan penduduk. Akibatnya, tidak usah heran apabila penyediaan lapangan pekerjaan pun sangatlah terbatas. Hal ini bisa kita lihat dengan membludaknya angka pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan. Apalagi disisi lain, upaya perbaikan kualitas sumber daya manusia (SDM) pun tidak tertangani secara baik. Investasi kita pada bidang SDM jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain di sekitar kita. Dengan kondisi seperti itu, tidak usah heran apabila ketergantungan kepada alam sangat tinggi. Ini merupakan sesuatu yang wajar karena kebutuhan hidup tidak bisa ditunda, sementara tingkat kemampuan intelektual tidak cukup memadai untuk bisa mencari cara lain yang tidak membuat mereka terlalu tergantung kepada alam. Kadang kita bertanya apakah berbagai bencana alam itu berlangsung begitu saja, sekedar sebagai konsekuensi logis dari terganggunya keseimbangan alam? Para tetua kita sering kali jauh lebih arif dalam hal ini. Mereka sering mengingatkan bahwa alam bukanlah benda mati. Mereka juga hidup dan selalu berkomunikasi dengan kita. Alam bereaksi terhadap berbagai tindakan kita. Sepanjang kita melakukan komunikasi yang santun kepada alam, alam pun akan bereaksi secara santun. Sebaliknya, apabila kita melakukannya secara kasar, alam pun akan bereaksi yang sama. Kita tidak bermaksud untuk melakukan pendekatan yang tidak rasional. Kita hanya ingin diajak untuk lebih arif dalam membaca tanda-tanda alam. Kita berpikir, bencana Tsunami Desember 2004 merupakan puncak segala bencana. Kita berharap setelah itu tidak ada lagi bencana sehingga kita bisa berkonsentrasi untuk membenahi kehidupan negara kita yang sudah morat-marit delapan tahun terakhir ini. Ternyata bencana itu tidak kunjung berakhir. Berbagai bencana terus terjadi hingga sekarang ini. Banjir yang melanda hampir di seluruh wilayah Indonesia, juga menimpa negara-negara luar. Contohnya tanah longsor yang terjadi di Brazil yang menewaskan 100 orang. Di pulau Sumatera sendiri, kerugian yang diakibatkan banjir mencapai Rp.500 miliar. Teori Kerusakan Alam Mengapa musibah terjadi terus-menerus? Hal itu mungkin selalu muncul dalam pikiran kita ketika pertama kali mendengar berita tentang bencana alam. Ketika memikirkan jawabannya, mungkin akan muncul berbagai teori di benak kita, mulai dari yang ilmiah sampai sama sekali tidak ilmiah. Tapi hampir semuanya berkaitan dengan manusia serta segala “keterpusatan pada dirinya” yang disebut sebagai antroposentrisme. Manusia adalah pusat dari segala-galanya. Ada banyak versi yang mengatakan mengapa musibah terus-terusan melanda, salah satunya adalah bentuk kemurkaan Tuhan, karena dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia. Yang lain mengatakan bahwa bumi ini sudah tua. Dan sudah saatnya mendekati “kehancuran.” Kerusakan lingkungan merupakan siklus kehidupan yang pasti terjadi. Ada pula yang mengatakan bahwa terdapat persekongkolan pihak-pihak yang memiliki modal yang besar baik dalam bentuk dana maupun teknologi yangsengaja “mengirimkan” tsunami, gempa atau banjir ke Indonesia. Alasannya bermacam-macam. Pemikiran ini didasarkan pada “hujan saja ada pawangnya, maka tidak menutup kemungkinan terdapat pawang “tsunami”. Memang yang terakhir ini teori konspirasi yang konyol, tapi mungkin saja terjadi. Seperti apa yang diceritakan oleh Sidney Sheldon dalam novelnya Are You Afraid Of The Dark? bisa menjawab kenyataan. Siapa tahu? Tapi menurut saya, bencana alam di Indonesia akhir-akhir ini terjadi karena kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas ekonomi manusia. Bukannya saya mengesampingkan teori-teori di atas tersebut, tapi saya ingin menunjukkan penyebab lain dari musibah yang dapat kita ambil semua hikmahnya, dan berhenti menyalahkan Tuhan atas peristiwa itu. Jawabannya lagi-lagi adalah ada pada diri manusia. Kerusakan lingkungan disebabkan terutama oleh aktivitas manusia yang egois dan mengabaikan lingkungan. Isu lingkungan hidup seperti ini kita semua ketahui telah lama menjadi isu yang mengglobal, bukan sekedar masalah dalam negeri Indonesia saja. Adanya upaya kepedulian terhadap masalah-masalah yang mengakibatkan kerusakan lingkungan serta berpengaruh pada keberlangsungan hidup manusia secara global. Pertama kalinya isu itu diangkat sebagai agenda internasional adalah pada tahun 1972, dalam konferensi Stockholm tentang lingkungan hidup. Isu lingkungan hidup menjadi isu global disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, permasalahan lingkungan hidup selalu membawa efek global. Seperti masalah peningkatan kadar CFC di bumi. Kedua, permasalahan lingkungan hidup juga menyangkut eksploitasi terhadap sumber daya global seperti lautan dan atmosfer. Ketiga, isu tersebut bersifat transnasional, dimana kerusakan lingkungan hidup di suatu negara akan berdampak pula bagi wilayah di sekitarnya. Keempat, banyak kegiatan eksploitasi yang menyebabkan degradasi lingkungan memilki skala lokal, tetapi dilakukan di banyak tempat di seluruh dunia sehingga dapat dianggap sebagai masalah internasional. Dan yang terakhir, adalah karena proses yang menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan berhubungan dengan proses-proses politik dan sosial-ekonomi yang lebih luas, dimana proses-proses tersebut merupakan bagian dari ekonomi-politik global. Salah satu teori yang mengkritik eksploitasi manusia terhadap alamnya adalah pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh Eckersley, Goodin dan Dobson (Matthew Patterrson 2001) yang disebut sebagai kelompok Green Politics. Pada dasarnya pemikiran ini adalah menekankan pada pentingnya suatu paham atau upaya yang berlandaskan pada ecosentrism, yaitu suatu bentuk penolakan atas pandangan antropocentris atas dunia. Yang terpenting adalah keseimbangan antara alam dengan manusia. Pada saat keseimbangan tadi tidak lagi bersifat seimbang, maka pada saat itulah kerusakan akan terjadi. Istilahnya adalah catastrophe atau bencana. Jika masih dibingungkan dengan istilah antroposentrisme serta ekosentrisme, mari kita lihat ilustrasi di bawah ini. Masih ingat beberapa waktu yang lalu, sekawanan gajah singgah di desa yang dihuni manusia, dan memporakporandakannya? Orang dengan cara berpikir antroposentris akan berkata, “Bunuh saja kawanan gajah itu, karena dapat membahayakan manusia.” Salah siapa gajah-gajah itu merusak pemukiman masyarakat? Salah manusia! Karena manusia yang merusak habitat hidup gajah-gajah tersebut, dengan melakukan penebangan-penebangan hutan. Seorang antroposentris akan selalu mengatakan bahwa manusialah raja di muka bumi ini. Makhluk-makhluk lain hidup menumpang. Saya tidak mengatakan bahwa cara berpikir seperti itu salah. Manusia wajib membela dirinya sendiri jika ia merasa terancam. Tapi bayangkan rentetan akibat yang terjadi hanya karena kita terlalu memikirkan diri sendiri. Padahal masalah kerusakan lingkungan hidup bukan merupakan masalah yang sifatnya temporer, yang jika dibiarkan berlarut-larut justru akan menimbulkan kerusakan yan lebih parah lagi. Mungkin tak akan jauh berbeda dengan apa yang diilustrasikan dalam film The Day After Tomorrow. Sebuah gambaran mengenai kiamat yang datang karena ketidakpedulian manusia terhadap lingkungannya, mempengaruhi seluruh negara dan bangsa. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa manusia akan menciptakan kiamat bagi dirinya sendiri. Introspeksi Diri Pepatah mengatakan, kita tidak belajar dari pengalaman tetapi kita belajar dari refleksi atas pengalaman itu sendiri. Yang terpenting dalam pembelajaran kali ini adalah tentang bagaimana kita telah memperlakukan lingkungan dan alam kita sendiri. Perubahan gaya hidup, serta pentingnya nilai ekosentrisme dalam menangani masalah lingkungan mungkin akan menjadi tindakan penyelamatan, walau sekecil apapun. Rasanya tidak ada salahnya kita sama-sama melakukan introspeksi diri. Jangan hanya terus berkelahi. Mari kita pikirkan bangsa ini bersama dan mengubah diri, karena sudah terlalu lama bangsa kita menderita. Sudah saatnya kita bangkit. Tidak perlu menangisi sesuatu yang sudah lewat dan tidak usah takut menghadapi sesuatu yang belum datang. Sekali lagi, mengapa musibah terus-menerus terjadi? Jawabannya ada dalam pikiran kita masing-masing.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar